Rabu, 10 Juli 2013

Pekat yang Nikmat

Dalam dingin dan nyaring jam dinding,
Di hadapan segelas kopi yang air panasnya menantang air mataku

Aku bertanya :
Adakah kopi ini lebih hitam daripada kedukaanku?

Tapi tak setetes pun darinya mampu menjawabku,

Sebab barangkali mereka tak pernah mengenal arti hidup

Mereka hanya dituangkan ke dalam stoples kaca,

Menunggu giliran mereka untuk pergi,

Masuk ke dalam cangkir-cangkir cantik,

Kemudian melebur dan tenggelam dalam euforia kenikmatan yang bahkan tidak sempat mereka dengar ..

Dan sekalipun mereka adalah luak yang asli,
Mereka tidak akan pernah mampu menandingi pahitnya rasa kehilangan..

Barangkali mereka beruntung, sebab mereka tidak pernah mengenal keluarga, cinta, dan orangtua.. 
Sehingga tak perlulah bagi mereka untuk merasakan duka yang mendalam seperti yang sedang kurasakan..

Tak perlulah bagi mereka untuk menyendiri dalam balutan malam yang seakan siap menikamku kapanpun ia mau, seperti malam ini.

Angin malam pun seakan tertawa melihatku, dalam keterpurukan dan kepedihanku..
Seorang malang yang masih terbayang batu nisan ibu..
Seorang yang terlalu cepat meninggalkannya, ketika beliau musti hidup sebatangkara setelah ayah meninggal.

Dan aku?

Aku hanya bocah dengan segudang mimpi yang mengejar prestasiku jauh dari rumah, dan pada akhirnya berdialog dengan segelas kopi..

Gelas yang kacanya seolah cermin bagi diriku..

Pekatnya melukiskan kedukaan yang barangkali lebih gelap daripada langit malam ini ..

Dan butir-butirnya yang mengendap dibawah adalah aku ;

Yang masih saja tenggelam dalam kesedihanku..

Dan tunggu ..

Apakah itu?

Putih-putih semarak yang perlahan melunturkan kepekatan dalam gelas kopiku

“Kopinya lebih enak kalau dikasih susu. Biar ngga terlalu pahit.”

Beberapa sendok susu dari gelas teman asramaku sekarang sudah bercengkrama dengan butir-butir hitam di bawah sana.

Astaga! Bagaimana bisa aku mengurung diriku dalam lembah kesedihan ini - sedangkan ayah dan ibuku telah mengirimkan pasukan malaikatnya untuk menuntunku kembali berjalan dalam rute masa depanku?

Kawan yang menghiburku, yang pada akhirnya membentuk atmosfer yang lebih menenangkan. 

Seperti gelas kopiku, yang perlahan pekatnya menghilang dan berubah menjadi kecokelatan.

0 komentar: