Sabtu, 25 Mei 2013

Cinta, Luka, dan Lupa

Dua terdekat semakin lenyap.
Yang hitam manis hanyalah jelmaan abu.
Semu.
Pundak yang tegar mulai keropos.
Yang biasa dipinjam mulai sirna.
Lengkungan bibir menjadi datar,
dan tanah di pipi mulai bermuara.

Cinta butuh luka sebelum jadi lupa.
Begitu pikir mereka.

Bodoh saja.
Kenapa pula harus ada luka untuk jadi lupa?
Toh luka dan lupa hanya beda satu huruf saja.
Tentu cinta jadi lupa itu akan lebih mudah jika tanpa melalui luka.

Cobalah.
Buang saja c, i, n, dan t 
Empat huruf yang sering mereka sebut pelengkap bahagia
Lalu ambil 'l', 'u', dan 'p' yang lebih sederhana
Sangat sederhana.
Kamu kan tidak perlu huruf k
Asal tahu saja k itu menyakitkan
Lihat saja "aku" dan "kamu" pernah sama-sama menyakiti kan?
Jelaslah. 
"kita" kan juga memelihara k

Ahh, siapa yang tak kenal dia?
Dia yang tak kenal cinta adalah dia yang tak kenal syukur.
Dia yang kenal luka adalah dia yang memenangkan syukur.
Dia yang mengenal lupa tak pernah mengenal cinta dan luka.
Dia lupa apa itu syukur.

Ada diantara kalian yang menangisi cinta, meratapi luka, dan melupakan syukur.
Kalian ini mengaku mengerti dimana jurang antara cinta dan luka itu tercipta.
Tapi kalian tidak pernah tahu bagaimana membuat jembatan diantara keduanya.
Kalian terlalu sibuk mengukur seberapa dalam dan curamnya jurang itu.
Jurang antara cinta dan luka, yang kalian sebut sebagai 'jurang pemisah antara engkau dan dia'.
Lalu pada akhirnya kalian ini malah memilih lupa.
Padahal lupa dan luka mengandung l, dan u dari kata sulit.
Hahh.. kalian ini.
Masih tak sadarkah kalian, bahwa cinta dan luka merupakan sepasang sinergi yang harus saling menyeimbangkan?