Rabu, 10 Juli 2013

Di Sini Aku



Di sini aku sekarang.
Di titik yang paling awal.
Sebelum hitam menjadi manis,
Dan sebelum hitam adalah abu.
Bahkan sebelum aku mengenal hitam.

Barangkali aku telah menjelma menjadi suatu sosok yang baru.
Satu sosok yang terlalu asing dan angkuh bagimu,
Juga bagi diriku sendiri (mungkin).

Aku tak lagi takhluk pada bayang-bayang apa pun.
Bahkan tidak pada lukisan-lukisan cantik dalam relung jingga.

Aku tak lagi seperti dahulu.
Bukan gadis yang berlatih menari dalam siluet senja.
Sementara tariannya yang palsu cuma cuma meredam duka.
Selendang batinnya terjepit pilu.
Pada tiang-tiang pendhopo yang terlalu ringkih
dan terlalu klasik untuk kau jamah.

Aku bukan rekananmu, bukan wanitamu.
Bukan seonggok manusia yang menelan kepedihannya dalam balutan senyum semu.

Aku tak lagi selembut dahulu.
Bukan lagi wanita yang menemanimu tertidur
sambil membenahi letak leher kemejamu.
Kini aku sekeras kulit telur yang baru masak.
Sebab kamu tahu,
lembut dan rapuh bedanya hanya setinggi diameter rambut.

Aku meraba-raba dimensi kelam.
Dan aku tau aku harus berbalik ke titik yang paling awal.

Lalu aku mengais ngais air mataku.
Menjadi wanita yang keras, atau (mungkin) tegas?
Yang tamengnya lebih kuat dari baja.
Yang jika kau tusuk lagi dengan candrasa,
Sandingnya akan berbelok padamu
pada samudra batin yang paling cekak.

Lalu di sini pula aku berbicara.
Lupa pada luka yang ku simpan.
Kala syair syairmu menghanyutkan nusantara.
Saat bijakmu merengguh kathulistiwa.
Dan tepat saat aku tertusuk pisau hitam setajam bambu.
Sahabat yang meracikkanku setangkup roti,
Tapi diam-diam mencuri kenyangku.
Menjadikanku layu dengan abunya.

Malam yang indah.
Bila sekarang jemariku berdansa lincah di atas keyboard.
Hanya untuk berkata bahwa maaf itu tidak ada.
Sebab aku telah berdiri di titik awal lagi.
Kembali pada sebuah titik,
Tepat sebelum hitam menjadi manis.
Sebelum hitam menjadi abu.
Dan bahkan sebelum aku mengenal hitam.

Di sini aku sekarang.
Di titik yang paling awal.

0 komentar: