Rabu, 16 Juli 2014

Ruang Tanpa Topeng

Anda adalah pria pertama yang saya cintai.
Anda adalah laki-laki yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya akan selalu saya cintai.
Anda adalah kerinduan tanpa kecemburuan.
Anda adalah kesetiaan yang tak pernah saya ragukan.
Seberapa jauh pun jarak membentang,anda tidak pernah membuat saya takut kehilangan.
Anda adalah kepercayaan, dan senyata itu kasih Anda akan tetap selalu ada.
Anda adalah ketegaran, dan di pundak anda saya bebas menangis sepuasnya.
Anda adalah senyaman-nyamannya surga tempat saya meluapkan emosi.
Seberapa sering pun saya memarahi anda, percayalah sedikit pun tak pernah ada rasa benci.
Anda tak perlu takut tuan, sebab sesungguhnya bagi saya Anda adalah wadah ekspresi
Anda adalah ruangan pribadi dimana tanpa topeng saya luwes menari.
Dan terimakasih untuk kesempatan saya mencintai Anda dengan cara yang sedemikian antik.
Terimakasih telah menjadi laki-laki pertama yang mencintai saya bahkan sebelum saya mampu mengenal dunia.
Terimakasih telah menjadi makhluk kedua yang saya temui di dunia.
Terimakasih telah menjaga ibu saya selama saya masih dalam perjalanan-sembilan-bulan.
Terimakasih telah membesarkan, mendidik dan merawat saya hingga sejauh ini -- dan tetaplah demikian.
Dan terimakasih kepada Tuhan, yang telah menghadirkan Anda tiga puluh dua tahun lebih dahulu sebelum saya dilahirkan.

Selamat ulang tahun, tuan.
Terimakasih telah menjadi ayah terbaik.
Tetaplah panjang umur dan menjadi rumah tempat saya berpulang.




Minggu, 20 April 2014

Renggo

Tiga hal yang kamu perhatikan ketika hendak membeli baju.

PERTAMA
Baju banyak lucu, tapi cuma sedikit yang pas di badan. Dan dari semua yang pas di badan, cuma sedikit yang nyaman di pakai. Dari semua yang nyaman di pakai, ada satu yang paling kamu suka. Satu, yang selalu ingin terus kamu kenakan. Bahkan sampai orang menegurmu Renggo alias garing dinggo garing dinggo (cuci-kering-pakai cuci kering-pakai).

KEDUA
Baju selalu diserasikan dengan bentuk tubuh dan gaya hidup seseorang. Orang-orang terdekat yang benar-benar care sama kamu biasanya hafal betul baju mana yang cocok dan yang tidak cocok denganmu. Terkadang, baju yang kamu kenakan itu mencerminkan kepribadianmu. Itulah salah satu alasan kenapa mama, papa dan kakak-kakak ganteng selalu menegurku kalau salah pilih baju. "Lebih baik tidak membeli, daripada membeli yang tidak sesuai", begitu kata mereka.

KETIGA
Setiap orang memiliki kapasitasnya sendiri-sendiri, dan baju-baju di toko punya standard harganya masing-masing. Ada yang terpampang cantik di dalam kaca toko, diincar jauh-jauh hari sambil menabung, lalu terdahului masuk kantong belanja orang beberapa hari kemudian. Ada yang sangat dapat dijangkau, tapi harus diperebutkan mati-matian dibawah label "Diskon". Dan untuk kesemuanya itu, takdir yang menentukan.



Kadang kala, teman, sahabat, kekasih bahkan pasangan hidup itu akan kamu temui serupa dengan berbagai macam baju di toko-toko. Beberapa harus kamu pilih, kamu bawa ke ruang ganti untuk kamu coba. Yang tidak pas akan ditinggalkan, dan yang cocok di badan dan kantong akan dibawa pulang. Begitulah kamu harus memilih satu untuk menjadikannya Renggo.

Sabtu, 19 April 2014

The A Team


Banyak orang angkat bicara tentang keluarga,
tapi hanya sedikit yang benar-benar dapat memaknainya
Merubah kata menjadi sapa adalah hal mudah,
semudah menghafal nama dan kemudian melupakannya
Menjadi sebuah keluarga,
artinya kamu telah mampu mengenali
siapa saudaramu laki-laki dan siapa saudarimu perempuan
lebih pada pengenalan karakter,
bukan sekedar menghafal nama
Terlepas dari realita bahwa kamu, aku dan dia
tidak lahir dari rahim yang sama
bukan remaja yang besar dari air susu yang sama
dan pada kita tidak mengalir darah yang sama

Keluarga itu, tumbuh dari tunas keakraban,
dipupuk rasa toleransi dan disirami kasih sayang



We are RED,
We are proud to be RED,
We are brave to be RED.
 
Sarangheo,              
 
 
The A Team.   

Senin, 24 Maret 2014

Pergi Untuk Sementara

Aku tak pernah lupa
Mengapa ku bisa begitu mencintainya
Dia masih disini
Menanti setia berharap takdir berubah untukku
Dia membuatku bahagia

Dia selalu ada
Menjaga diriku menemani waktuku
Kuingin dia bahagia
Namun aku tau dia menangis jauh di dalam hatinya
Tuhan dengarkanlah dia berdoa

Bila waktuku tlah tiba
Ku hanya berharap dia merelakanku
Ku tak ingin kau bersedih mengertilah kasih
Ku hanya pergi untuk sementara
Kita tak terpisah selamanya

Banyak orang berkata dia buang waktunya tuk mencintaiku
Dan akupun tak bisa
Mencegah dirinya untuk berhenti mencintai diriku
Bahagia aku bersamanya

Bila waktu ku tlah tiba
Ku hanya berharap dia merelakanku
Ku tak ingin dia bersedih mengertilah kasih
Ku hanya pergi untuk sementara
Kita tak terpisah selamanya.. selamanya..

Minggu, 23 Februari 2014

Jangan dibaca!

Untuk kamu,
seseorang yang kurasa tak pernah lagi membaca halaman ini.

Saat aku menulis surat ini, jangan kau bayangkan aku sedang menangis. Tidak sama sekali. Saat aku menulis ini, aku duduk dengan baju merah yang pernah kita kenakan bersama di dalam bangku bis yang bergerak perlahan menjauhi ranum matahari tenggelam. Pertama-tama, biar ku beri tahu bahwa aku tak lagi serapuh gadis sebelas bulan yang lalu. Saat ini aku dan corak-corak merah jambu di dalam sana sudah memahami betul perihal-perihal yang membuatku terluka. Ada banyak alasan ketika seseorang memutuskan untuk meninggalkan komitmen yang telah ia canangkan. Dan tentang langkahmu itu, aku sudah berhasil mencoba menerimanya. Kamu tidak perlu meminta maaf, sebab aku pun tidak perlu memaafkan apa-apa. Segala sesuatunya telah berjalan seumpama desiran ombak di Pantai Pangandaran. Gelombang air yang menerjang pasir laut dan perlahan menarik segala beban dari penampangan telapak kakiku. Lamat-lamat aku membiarkan diriku menjadi siluet di senja temaram yang boleh kau pandangi sejenak ketika kau menenolehkan wajahmu ke belakang.Aku tak lagi berani mencoba datang, sebab gadis itu telah membuat kenyataan benar-benar menampar pipi kananku; bahwa karma itu ada. Sungguh ku pikir tak ada eloknya bagiku untuk menyaksikan buliran air mata dari pelupuk nona yang kekasihnya direnggut keegoisan - luka  yang sama seperti yang sedang aku kenakan saat ini. Sudahlah, karma itu ada. Ia tak pernah tersesat, ia selalu mendatangi orang-orang yang tepat untuk diberi pelajaran. Jadi biar saja demikian, biar saja pipi kiriku ini ikut memerah. Meski aku tak mau menjadi gadis bodoh yang menunggumu sambil bertopang dagu, aku masih rela hati menyatakan diri sebagai seorang wanita yang menyempatkan diri beberapa detik untuk mengintip tirai imaji yang mulai usang berlalu. Bukan apa-apa. Aku hanya sedang belajar, bahwa segala sesuatu yang terjadi di masa nanti adalah perihal yang tak pernah kita tau. Hidup ini seperti sebuah seni yang tak mampu kau pahami dengan logika aritmatika. Seperti einstein yang mendapati buah apel jatuh menimpa kepalanya, seperti itu pula nantinya kita akan mengerti pada gravitasi mana cinta kita akan dirumuskan.

Selamat berbahagia, yasallam.

Rabu, 05 Februari 2014

Enggan

Setiap sakit selalu menuntut waktu rehat untuk penyembuhan, bukan?
Nona sedang enggan untuk dicinta. Baginya dikecewakan lembaran balance sheet lebih membahagiakan dibanding tamparan cinta yang tak berimbang.

Setiap romansa punya titik jenuhnya, demikian pula dengannya. Ia bosan melihat plester warna-warni yang sekian lama tertempel menutupi lukanya. Kadang terbuka - terkoyak - lalu diganti dengan yang baru - terlepas lagi - dan seterusnya. Terihat meletihkan (mungkin juga pedih).


Lalu...


Ding Dong!
Ding Dongg!


Bel rumah yang tak pernah ia benci itu mulai bersuara.

Nona memang senang membukakan pintu bagi setiap tamu yang datang bertandang. Tetapi Nona tak pernah ringan hati mengambil gagang sapu atau sekadar menebas sofa yang berdebu. Nona sedang enggan. Sangat. Ia tak tertarik untuk membersihkan sisa puntung rokok yang dijatuhkan dari bibir pemiliknya yang sempat manis. Memang benar Nona senang berbincang dengan mereka, tapi Nona tak suka bila mereka singgah terlalu lama. Nona tak ingin halaman rumahnya digali dan ditanami oleh harapan-harapan mereka yang ia sadari tak kan pernah dapat ia buahkan. Nona sedang lelah untuk bercocok cinta. Ia tak punya cukup air mata untuk menyirami rasa.

Bukan. Nona tidak takut jatuh, ia hanya sedang enggan.

Kamis, 30 Januari 2014

Kata Blogger pada Nonanya

Fuhh fuh. Sayang, maaf ya kamu jadi sangat berdebu.


Sudahlah. Aku sudah jemu. Lama tak dijamu.
Matahari terlalu dingin untuk mencairkan embun,
dan kau terlalu sibuk berakting di belakang panggung.
Belagak lupa kau pada nasehat ibu.
Kau tak saja lupa padaku, tapi juga lupa pada ribuan lembar halaman ilmu.
Lupa kau akan cambuk ragamu?
Kau terlalu gembira dengan letih-yang-kau-nantikan
-semenjak-tiga-ratus-enam-puluh-lima-hari mu itu.
Jadi gegabah kau, sok kuat!
Lagakmu sudah seperti android. Lupa tak kau pikir dayamu itu berapa?
Kalau energimu habis barulah kau mengais-ngais. Menangis.
Kekmana pulalah kau pikir manusia punya power bank?
Charger pun tak ada yang bisa kau colokkan pada hidung kau na. 
Cuma istirahat. Kasurpun tak dapat kau tenteng pergi kemana mana.


Kerjamu cuma sutradara; ongkang-angking jadi lighting.
Kulihat kau tak punya gaji, tapi kau masih selayaknya best actress.
Meski tanpa penonton, ku lihat aktingmu boleh juga.
Pura-pura kuat 75. Pura-pura sehat 60. Pura-pura pintar 70. Pura-pura good mood 85.
Hebatlah hebat.
Nah itu dia boy! Matkul berakting lebih bagus daripada accounting.
Sayang nilai acting tak kan pernah tercetak IPKnya. 
Mereka bilang orang cerdas itu otak kiri sama otak kanannya seimbang. 
Tapi lihat realitinya boy, kehidupan nyata dan sandiwara tak selamanya mencapai titik equiriblium. Ini lebih mirip akuntansi; yang balance belum tentu benar.


Kerja keras. Peras emosi. Kuras semangat.
Tak ada bayaran yang lebih tinggi dari riuhan tepuk tangan, tumpukan pengalaman, dan lingkar mata yang menghitam.


Resign
Tak
Resign

 
Tak


Resign
Tak


Resign



Resign





Tak!

Selasa, 07 Januari 2014

Pujangga Januari

Laki-laki ini tak pernah mengakui November sebagai bulan kelahirannya. Ia tak pernah mau meniup lilin-lilin ulang tahun yang di pasang kekasihnya di atas kue chiffon keju favoritnya. Ia bilang, ia adalah laki-laki Januari. "Kau tau, diksiku selalu mati kutu menunggu November berakhir, dan lamat-lamat lahir kembali di setiap penghujung bulan ke dua belas. Aku ini manusia Januari; tergelak dan kembali bercita di setiap permulaan yang baru."
Ia meneguk luak hitamnya pelan-pelan. Cangkirnya dingin, lama tak dicumbu pemiliknya yang sibuk menarikan jari di atas tombol backspace. Berkali-kali ia menelan ludah sebab tak ada satu pun frasa yang terpatri di lembaran kertas Word-nya. "Hei tuan, kami ini jengah kau pencet sana-sini. Terjaga sedari pagi hingga dini hari menemanimu berlari mengejar deadline. Mengertikah tuan, cuma November yang memberi kami istirahat. Tepat saat inspirasimu kandas bersama butiran hitam di dasar cangkir." Deretan tombol keyboard di depannya mulai berontak.
Manusia selalu begitu. Semangatnya menggebu-gebu di awal, memaparkan mimpinya yang berbinar seterik raja siang. Lalu perlahan jatuh bersama hujan, terseok-seok di tengah pegunungan, terpental-pental di tikungan jurang. Dan akhirnya terkepret-kepret sembari mengumpulkan serpihan semangat, mengais benang untuk merajut awal yang lain.
Tuan tampan menghela nafas di rebahan bulan November. Wanitanya menyapukan senyuman yang mendobrakkan getaran cinta. "Sudah lama kau tak memandangiku. Aku ingin memalingkan wajahmu dari tatap pada layar monitor, tapi aku takut mimpimu mati di tangan editor. Jadi aku diam saja. Aku menantikan kamu di Februari yang bergelora, tapi inspirasi membuat cokelat dan setangkai mawarmu tak jadi sampai padaku. Maka aku diam saja, menelan rinduku dalam-dalam. Tetapi tidak lagi untuk saat ini tuan. Aku sedang tak ingin bersua dengan diksimu. Aku butuh penulisnya. Hari ini aku datang dengan lilin-lilin ulang tahun, dan masih saja kau tak mau meniupnya?" Tuan tampan terperangah. Tak dikira bahwa wanita ini ternyata seperti laptopnya, bisa jengah juga.
"Maafkan aku puan. Tetapi puan adalah malaikat kematian. Dan aku selalu ingin rebah di atas sayapmu, terlebih-lebih seperti saat ini, saat inspirasiku kandas bersama luak hitam di kedalaman cangkir. Bagiku puan adalah wanita November, malaikat yang membuatku mampu hidup di tengah kematian diksi, dan nyawa untuk bertahan hingga melewati pergantian tahun. Puan adalah bibit inspirasi yang tumbuh subur di Januari, dan buah manis yang ku panen di sepanjang tahun sebelum November tiba lagi. Jadi, ambillah kue ini untuk puan, sebab di mataku puan adalah wanita November. Selamat ulang tahun puan, selamat menjadi diksi bagi pujangga Januari." kata laki-laki itu dengan sekotak cokelat dan setangkai mawar. Laki-laki ini tak lagi menjadikan Februari sebagai bulan yang penuh gelora, sebab gelar itu lebih pantas ia berikan kepada November, bulan kelahiran bagi wanitanya.
"Terimakasih tuan. Tapi sesungguhnya aku masih tak paham. Kenapa kau begitu menghidupi bulan Januari dan begitu takut ditikam November? Kenapa tak kau coba melepas kaca mata persepsimu dan menggantinya dengan yang baru? Kenapa tuan mesti menanti-nantikan penghujung Desember dan memuja-muja awal tahun? Kenapa tuan hanya membiarkan aku berdiri sebagai wanita November saja? Coba lihatlah aku, tuan. Aku mampu menjadi wanitamu sepanjang tahun, kalau saja tuan mau memalingkan wajah sebentar untuk menatapku, rasanya aku tak perlu mendapat julukan malaikat kematian. Tuan musti paham bahwa bibit yang ditanam dan dirawat sepanjang tahun akan membuahkan buah yang lebat, termasuk juga kala November tiba. Jadi tuan tak perlu meratap lagi, karena tak akan ada inspirasi yang kandas bersama luak pekat. Ingatlah saja bahwa aku ini wanitamu sepanjang tahun, dan tuan bisa merebahkan diri di atas sayapku kapan pun tuan mau. Aku mencintai tuan, seperti tuan mencintai diksi. Sebab itu pula aku tidak akan membiarkan diksi tuan berakhir di layar monitor." Lantas wanita itu mendekap tuannya erat-erat, membelainya seperti semerbak mawar yang merona kemerahan. Semanis cokelat yang meleleh di bawah selimut kemarau.
"Puanku tak kenal diksi, tapi ia mengenal penulisnya lebih baik daripada luak pekat mengenali cangkirnya." Lalu laki-laki itu berhenti menjadi pujangga Januari. Ia melepaskan kacamata persepsinya dan mengganti dengan yang baru. Laki-laki itu duduk kembali di depan layar monitornya, kali ini sebagai seorang pujangga sepanjang tahun yang lahir di bulan November.

(Proud to be 10 Finalis STAN's Next Top Writer 2014)