Hari ini adalah HUT 67 Republik Indonesia.
Umurku belum mencapai seperempat dari usia bangsa ini.. Tapi
sejauh aku hidup di tanah air, aku selalu membayangkan bahwa enam puluh tujuh
tahun yang lalu (dan beberapa tahun setelahnya), hampir seluruh masyarakat di
seluruh daerah mengikuti upacara hari kemerdekaan..
Pria-pria gagah dengan pakaian kebanggaannya,
Wanita-wanita yang anggun dalam balutan kebaya,
Juga anak-anak dan remaja yang berdiri dengan khikmat
di hadapan sangsaka yang hendak dikibarkan..
Aku kira saat itu, mereka pasti dengan senang hati dan penuh
sukacita, meninggalkan sejenak aktivitas mereka untuk berkumpul di lapangan upacara..
Aku bisa membayangkan bagaimana mereka bahagia, menyaksikan
Sang Merah Putih bergerak naik sambil diiringi lagu Indonesia Raya.. Pasti rasa
haru akan menyelimuti mereka, jika mengingat bagaimana penantian yang mereka
lakukan untuk detik-detik kemerdekaan itu.. Juga bagaimana sanak saudara dan
kerabat dekat mereka, yang dapat dipastikan tak dapat lagi berdiri diantara
mereka, karena gugur di medang perang :’)
Sekarang, mari kita lihat ke sekeliling kita ..
Kenapa yah, Bapak Presiden kita yang terhormat menghabiskan
uang senilai Rp 7 Milliar untuk kepentingan upacara di Istana Merdeka..
Padahal, biasanya uang yang dikeluarkan untuk kepentingan tersebut hanya berkisar
sekitar Rp 2 Milliar saja..
Hmm.. bukankah lebih baik jika dana itu dialokasikan untuk
memperbaiki kualitas pendidikan pejuang muda kita di seluruh pelosok tanah air?
Para pejabat negara yang terhormat itu, berdiri dibawah
tenda senilai ratusan juta rupiah saat mengikuti acara pengibaran bendera di
Istana Merdeka.. Sementara beberapa bulan yang lalu, di sebuah sekolah
terpencil, sekumpulan bocah harus belajar dibawah atap sekolah yang bocor..
Apakah hari kemerdekaan RI harus dirayakan dengan kemegahan?
Dengan souvenir-souvenir cantik yang diterimakan kepada seluruh tamu undangan?
Atau akan lebih banggakah kita, jika dapat merayakan hari
kemerdekaan dengan upacara sederhana, dan rentetan kegiatan negara yang berbau
sosial kemasyarakatan? Aku harap iya ..
Kenapa yah, di lapangan upacara biasanya hanya banyak dipenuhi oleh para
pelajar sekolah, beserta guru-guru mereka yang berjajar di belakang.. atau
dengan para pegawai pemerintahan yang berbaris dibawah terik matahari, dengan
para pejabat penting setempat yang berdiri dibawah tenda teduh, yang disewa
secara khusus..
Barangkali akan menyenangkan yah, kalau di lapangan-lapangan
desa dan perkotaan dipenuhi oleh masyarakat berbagai usia.. (minimal seperti
ketika para warga pergi untuk main dan nonton bola)
Tidak usah megah, cukup dengan tiang sederhana beserta
bendera merah putih saja.. Lapangannya
ngga usah luas, pakai tanah kosong juga ngga ada salahnya.. :)
Ngga usah pakai baju bagus, pakai daster juga ngga masalah,
asalkan hatinya bagus dan niatnya tulus :)
Ngga ada barisan koor atau paduan suara juga ngga apa,
lagian peserta upacaranya pasti bisa (dan harusnya bisa) nyanyi lagu Indonesia
Raya :)
Simple aja, ngga usah bikin pasukan 45, pasukan 17, dan
pasukan 8 kayak paskibraka.. Cukup tiga orang aja dari antara warga :) Lagian,
pasti ada deh dari antara bapak-bapak ibu-ibu itu yang dulu pas SMA jadi
anggota PBB :) Dan yang penting adalah pembacaan proklamasinya.. Yakin deh ada
sesepuh setempat yang bisa sedikit membagikan semangat 45 nya di atas mimbar..
Coba aja kita (termasuk aku..) ini punya kesadaran untuk melakukannya.. Pasti Bung Karno dan Bung Hatta ikut tersenyum bangga di atas sana.. :)
Lagipula kita kan ngga terlahir di zaman penjajahan.. Kita ngga perlu
mengorbankan diri dan memeras keringat untuk melawan penjajah.. Kenapa juga
kita ngga mau sedikit berkeringat di lapangan upacara?
Semangat 45!
Salam hangat :)