Jumat, 17 Agustus 2012

Dari Lapangan Upacara


Hari ini adalah HUT 67 Republik Indonesia.

Umurku belum mencapai seperempat dari usia bangsa ini.. Tapi sejauh aku hidup di tanah air, aku selalu membayangkan bahwa enam puluh tujuh tahun yang lalu (dan beberapa tahun setelahnya), hampir seluruh masyarakat di seluruh daerah mengikuti upacara hari kemerdekaan..

Pria-pria gagah dengan pakaian kebanggaannya,
Wanita-wanita yang anggun dalam balutan kebaya,
Juga anak-anak dan remaja yang berdiri dengan khikmat
di hadapan sangsaka yang hendak dikibarkan..

Aku kira saat itu, mereka pasti dengan senang hati dan penuh sukacita, meninggalkan sejenak aktivitas mereka untuk berkumpul  di lapangan upacara.. 

Aku bisa membayangkan bagaimana mereka bahagia, menyaksikan Sang Merah Putih bergerak naik sambil diiringi lagu Indonesia Raya.. Pasti rasa haru akan menyelimuti mereka, jika mengingat bagaimana penantian yang mereka lakukan untuk detik-detik kemerdekaan itu.. Juga bagaimana sanak saudara dan kerabat dekat mereka, yang dapat dipastikan tak dapat lagi berdiri diantara mereka, karena gugur di medang perang :’)


Sekarang, mari kita lihat ke sekeliling kita ..


Kenapa yah, Bapak Presiden kita yang terhormat menghabiskan uang senilai Rp 7 Milliar untuk kepentingan upacara di Istana Merdeka.. Padahal, biasanya uang yang dikeluarkan untuk kepentingan tersebut hanya berkisar sekitar Rp 2 Milliar saja..

Hmm.. bukankah lebih baik jika dana itu dialokasikan untuk memperbaiki kualitas pendidikan pejuang muda kita di seluruh pelosok tanah air?


Para pejabat negara yang terhormat itu, berdiri dibawah tenda senilai ratusan juta rupiah saat mengikuti acara pengibaran bendera di Istana Merdeka.. Sementara beberapa bulan yang lalu, di sebuah sekolah terpencil, sekumpulan bocah harus belajar dibawah atap sekolah yang bocor.. 

Apakah hari kemerdekaan RI harus dirayakan dengan kemegahan? Dengan souvenir-souvenir cantik yang diterimakan kepada seluruh tamu undangan?

Atau akan lebih banggakah kita, jika dapat merayakan hari kemerdekaan dengan upacara sederhana, dan rentetan kegiatan negara yang berbau sosial kemasyarakatan? Aku harap iya ..


Kenapa yah, di lapangan upacara biasanya hanya banyak dipenuhi oleh para pelajar sekolah, beserta guru-guru mereka yang berjajar di belakang.. atau dengan para pegawai pemerintahan yang berbaris dibawah terik matahari, dengan para pejabat penting setempat yang berdiri dibawah tenda teduh, yang disewa secara khusus..

Barangkali akan menyenangkan yah, kalau di lapangan-lapangan desa dan perkotaan dipenuhi oleh masyarakat berbagai usia.. (minimal seperti ketika para warga pergi untuk main dan nonton bola)

Tidak usah megah, cukup dengan tiang sederhana beserta bendera merah putih saja..  Lapangannya ngga usah luas, pakai tanah kosong juga ngga ada salahnya.. :)

Ngga usah pakai baju bagus, pakai daster juga ngga masalah, asalkan hatinya bagus dan niatnya tulus :)

Ngga ada barisan koor atau paduan suara juga ngga apa, lagian peserta upacaranya pasti bisa (dan harusnya bisa) nyanyi lagu Indonesia Raya :)

Simple aja, ngga usah bikin pasukan 45, pasukan 17, dan pasukan 8 kayak paskibraka.. Cukup tiga orang aja dari antara warga :) Lagian, pasti ada deh dari antara bapak-bapak ibu-ibu itu yang dulu pas SMA jadi anggota PBB :) Dan yang penting adalah pembacaan proklamasinya.. Yakin deh ada sesepuh setempat yang bisa sedikit membagikan semangat 45 nya di atas mimbar..
 
Coba aja kita (termasuk aku..) ini punya kesadaran untuk melakukannya.. Pasti Bung Karno dan Bung Hatta ikut tersenyum bangga di atas sana.. :)

Lagipula kita kan ngga terlahir di zaman penjajahan.. Kita ngga perlu mengorbankan diri dan memeras keringat untuk melawan penjajah.. Kenapa juga kita ngga mau sedikit berkeringat di lapangan upacara?


Semangat 45!
Salam hangat :)