Jumat, 25 Oktober 2013

Philein

Selamat malam Philein, aku tidak bisa tidur.

Philein.
Aku tidak tau kamu dimana. Emm, setidaknya aku sendiri tidak bisa melihatmu.
Setidaknya, saat ini.
Philein, Philein.
Saat aku tidak melihatmu, aku malah menemukanmu pada pertanyaan yang paling nyata.
Kenapa kamu menampakkan diri di hadapan dua orang yang begitu berbeda?
Kenapa kamu terlihat begitu angkuh Philein?
Kamu membuat mereka semua percaya bahwa kamu bisa mempersatukan mereka.

Ahh. Jangan berpura-pura tidak mengerti, Philein.
Kadang kamu menyusahkan mereka, lho.
Kamu membuat mereka ragu.
Apa benar kamu bisa mempersatukan mereka?

Kamu membuat seorang tuan tampan berlutut meratap ketika ditinggalkan oleh puannya.
Selisih kedewasaan. Hahh.
Apa yang kamu lakukan Philein?
Puan itu melangkah tegar, tak menengok sedikit pun. Tapi air matanya mengalir.
Deras sekali, Philein. Kamu tau itu. Kamu pasti melihatnya.
Tapi kenapa kamu diam saja Philein?
Kasian kan mereka.
Jangan AATA, Philein. Jangan.

Ada lagi orang berhati satu yang tatapannya kau pasangkan dengan seorang berhati dua.
Dan ingatkah Philein, apa yang kau lakukan?
Kamu tidak membuat mereka bersatu, Philein.
Kamu malah membuat mereka bertiga.
Bertiga, Philein. Bertiga.
Jahat sekali.
Selang berapa lama lagi, kamu membuat mereka kembali pergi sebagai : satu, satu, satu.
Satu itu tunggal Philein, sedangkan bersatu itu jamak.
Kamu harus bisa bedakan!


Philein.
Bisa tidak kamu berlaku sedikit adil?
Jangan pandang bulu Philein.
Kamu tidak berbulu.
Kamu ini merah, dan simetris.
Tapi aku baru jumpa ini; ternyata simetris tak selamanya seimbang?
Adillah sedikit, Philein.

Kamu bilang yang berbeda bisa kau persatukan?
Kalau begitu tolong ciptakan tanah lapang, Philein.
Supaya tasbih dan rosario bisa didaraskan bersama dengan kebebasan.
Lihat mereka Philein.
Mereka sangat suka Sabtu sore.
Saat dimana puan pulang Ekaristi dan tuannya menjemput seusai Maghrib.

Ayolah Philein, aku tau kamu bisa lebih bijak dari ini semua.

Setidaknya aku tau Philein, kamu pernah menyatukan hitam dan putih dalam merah.
Satu darah, Philein. Hebat sekali kamu.
Aku berterimakasih, kamu melakukan yang satu ini dengan baik.
Sebab jika tidak;
siapakah aku? 

Rabu, 16 Oktober 2013

Lilin-lilin Bersua

Jika sepuluh menit dapat merangkum satu tahun perjalanan hidup seseorang,
Maka tiga puluh menit ini adalah milikmu.
Kamu dan nyala apimu;
Terang dan hangat yang menerjang setiap terpaan angin dingin dan gelapnya malam.
Lelehan peluhmu,
tlah jadi rajutan perjuangan panjang yang kau retas tanpa batas.
Menghadapkanmu pada spektrum spektrum yang menuntunmu untuk menjamah rana;
Entah senyuman manis, entah kepalan tangan;
yang menantimu berdiri sebagai abdi bangsa;
punggawa keuangan negara.

Kini coba tengoklah sejenak.
Topangan kaki tempatmu berpijak ini,
sudah nyaris suntuk dan cukup renta
untuk bersua dengan air mata dan letihmu.
Lelehan ragamu sudah nyaris mendekati horizontal;
Tepat di malam ini, di delapan belas yang merekah dalam bulan Maria.

Lihatlah kami, kakak
Lilin lilin baru yang masih terlalu bersih.
Yang halus, yang mulus, yang baru keluar dari dalam kardus.
Yang utuh dan seolah kokoh,
Namun ditantang ragu untuk membawa terang.
Jangankan menyala kakak;
tentang cara tepat untuk dapat berpijak pun kami masih entah

Lihatlah kami, kakak.
Batangan-batangan putih yang bersua denganmu di malam ini,
di bawah cantik kerlip gemilang bintang,
yang membangunkan memori sekawan minggu yang lalu.
Gedung J307.
Saat lambaian tangan dan senyum manja
kita ciptakan bersama;
Apakah tak kau tangkap radar cemas dan ketakutan pada rona wajah kami?
Bagaimanakah kami harus membalas ucapan
"Selamat datang" dari bibir kalian,
dengan sebuah bisikan "Selamat jalan?"

Jika benar aku ini kakak;
Jika boleh aku bersusastra
dan jika mampu sepuluh menit mengibaratkan satu tahun perjuangan hidup seseorang.
Maka tiga puluh menit ke depan adalah milik kalian.
Pada tiga detik emas yang tersisa ini,
perkenankanlah aku menyalurkan nyala api Nya pada kalian.
Nyala api dan bisikan firman yang kalian kenal semenjak setetes air membelai dahi.

Bulir biluran pilu yang Ia tunjukkanlah,
yang akan kuberitahukan kepadamu;
Janganlah imanmu goyah.
Sebab Kristus sang batu penjuru telah menjadikan kerikil, debu dan rerumputan
sebagai awak-awak yang membentengi langkah-langkahmu.
Tak kan terantuk kaki kalian pada tanah.
Lelehan peluhmu akan jadi tonggak kebenaran,
Tumpukan keringat dan air matamu akan menjadi pijakan bagi ribuan orang.
Dari mulutmu akan terucap perkataan-perkataan yang benar.
Dan dari pundakmu disandarkan harapan-harapan orang nanar.

Detak detik ini,
Tuhan mempersatukan kita
Agar dapat kita berdiri dan berpijak bersama atas nama iman.
Biarlah angin, hujan dan malam menunjukkan
Bagaimana dingin dapat dikalahkan dengan kehangatan
dan bagaimana terang dapat mengalahkan kegelapan.

Untuk itu, tegapkanlah badanmu.
Pasanglah segala perisai Allah dan melangkahlah
dengan lengan kasih yang mampu merangkul semua senyuman.

Tentang lambaian tangan;
bukankah rotasi kita masih sama?


(Makrab KMK STAN, 18 Oktober 2013)

Minggu, 06 Oktober 2013

Karta, Kata dan Kita

Karta. Jogja sudah jadi Jaya. Tugu yang menjamah langit sudah dilukir dengan Monas. Dengan sedikit air mata di pelupuk jendela bis Trans yang memimikri dirinya dari hijau menjadi orange, aku terjaga di sini. Di sebuah petak dengan enam buah pundi-pundi yang siap aku tata sebagai sebuah pondasi baru untuk mulai menjajaki tangga-tangga asa. Putih dan hitam yang melekat, tak kan ku lebur menjadi abu. Tidak. Aku sudah melangkah dengan vantofel hitam yang dibeli untuk jarang dipakai, dan aku tidak akan berbalik. Tidak.

Menurutmu untuk apa aku harus menengok ke belakang; sementara aku tau bahwa kamu-kamu semua setia berjalan bersama di kedua sisiku, dan tangan kita masih sama-sama memainkan tembang-tembang klasik yang mengharmoni.

Aku, kamu dan kita harus sama-sama tau, bahwa aku, kamu dan kita harus pergi dengan langkah yang berbeda untuk menuju ke satu arah yang sama. Untuk sebuah mimpi besar yang diagung-agungkan oleh para pewaris peradaban.

Sekalipun jingga yang kita lihat bukan lagi jingga yang sama yang menyapa saat kita berjalan bersama menuju gereja. Sekalipun senja yang kita lihat bukan lagi senja yang sama yang melukiskan silouet pepohonan pinus dari lapangan basket. Sekalipun kini pagiku telah menjadi malammu, dan sekalipun lelapku kamu sebut terjaga; matahari kita masih sama. Masih matahari yang menantang kita untuk mengobarkan api Van Lith dimana pun kita ditebar.

Fotosintesa mengayuh kita bertumbuh dewasa. Kita tidak lagi melingkar dengan lengan-lengan yang merapat, dengan kaki-kaki yang saling bersentuhan. Kini kita bergandengan melingkar dengan lengan-lengan yang terbuka yang merengkuh ribuan orang lainnya untuk saling memberikan pundak mereka dan kaki-kaki kita mengalunkan langkah yang lebih lebar untuk dapat menjamahi dunia yang perlu digugah dari mimpi.

Hujan, angin, dan awan yang berarak di atas kita boleh berbeda, tapi sekali lagi: Matahari kita akan terus sama.