Laki-laki ini tak
pernah mengakui November sebagai bulan kelahirannya. Ia tak pernah mau meniup
lilin-lilin ulang tahun yang di pasang kekasihnya di atas kue chiffon keju
favoritnya. Ia bilang, ia adalah laki-laki Januari. "Kau tau, diksiku
selalu mati kutu menunggu November berakhir, dan lamat-lamat lahir kembali di
setiap penghujung bulan ke dua belas. Aku ini manusia Januari; tergelak dan
kembali bercita di setiap permulaan yang baru."
Ia meneguk luak hitamnya
pelan-pelan. Cangkirnya dingin, lama tak dicumbu pemiliknya yang sibuk
menarikan jari di atas tombol backspace. Berkali-kali ia menelan ludah sebab
tak ada satu pun frasa yang terpatri di lembaran kertas Word-nya. "Hei
tuan, kami ini jengah kau pencet sana-sini. Terjaga sedari pagi hingga dini
hari menemanimu berlari mengejar deadline. Mengertikah tuan, cuma November yang
memberi kami istirahat. Tepat saat inspirasimu kandas bersama butiran hitam di
dasar cangkir." Deretan tombol keyboard di depannya mulai berontak.
Manusia selalu begitu. Semangatnya
menggebu-gebu di awal, memaparkan mimpinya yang berbinar seterik raja siang.
Lalu perlahan jatuh bersama hujan, terseok-seok di tengah pegunungan,
terpental-pental di tikungan jurang. Dan akhirnya terkepret-kepret sembari
mengumpulkan serpihan semangat, mengais benang untuk merajut awal yang lain.
Tuan tampan menghela
nafas di rebahan bulan November. Wanitanya menyapukan senyuman yang
mendobrakkan getaran cinta. "Sudah lama kau tak memandangiku. Aku ingin
memalingkan wajahmu dari tatap pada layar monitor, tapi aku takut mimpimu mati
di tangan editor. Jadi aku diam saja. Aku menantikan kamu di Februari yang
bergelora, tapi inspirasi membuat cokelat dan setangkai mawarmu tak jadi sampai
padaku. Maka aku diam saja, menelan rinduku dalam-dalam. Tetapi tidak lagi
untuk saat ini tuan. Aku sedang tak ingin bersua dengan diksimu. Aku butuh
penulisnya. Hari ini aku datang dengan lilin-lilin ulang tahun, dan masih saja
kau tak mau meniupnya?" Tuan tampan terperangah. Tak dikira bahwa wanita
ini ternyata seperti laptopnya, bisa jengah juga.
"Maafkan aku puan.
Tetapi puan adalah malaikat kematian. Dan aku selalu ingin rebah di atas
sayapmu, terlebih-lebih seperti saat ini, saat inspirasiku kandas bersama luak
hitam di kedalaman cangkir. Bagiku puan adalah wanita November, malaikat yang
membuatku mampu hidup di tengah kematian diksi, dan nyawa untuk bertahan hingga
melewati pergantian tahun. Puan adalah bibit inspirasi yang tumbuh subur di Januari,
dan buah manis yang ku panen di sepanjang tahun sebelum November tiba lagi.
Jadi, ambillah kue ini untuk puan, sebab di mataku puan adalah wanita November.
Selamat ulang tahun puan, selamat menjadi diksi bagi pujangga Januari."
kata laki-laki itu dengan sekotak cokelat dan setangkai mawar. Laki-laki ini
tak lagi menjadikan Februari sebagai bulan yang penuh gelora, sebab gelar itu lebih
pantas ia berikan kepada November, bulan kelahiran bagi wanitanya.
"Terimakasih tuan.
Tapi sesungguhnya aku masih tak paham. Kenapa kau begitu menghidupi bulan
Januari dan begitu takut ditikam November? Kenapa tak kau coba melepas kaca
mata persepsimu dan menggantinya dengan yang baru? Kenapa tuan mesti
menanti-nantikan penghujung Desember dan memuja-muja awal tahun? Kenapa tuan
hanya membiarkan aku berdiri sebagai wanita November saja? Coba lihatlah aku,
tuan. Aku mampu menjadi wanitamu sepanjang tahun, kalau saja tuan mau
memalingkan wajah sebentar untuk menatapku, rasanya aku tak perlu mendapat
julukan malaikat kematian. Tuan musti paham bahwa bibit yang ditanam dan
dirawat sepanjang tahun akan membuahkan buah yang lebat, termasuk juga kala
November tiba. Jadi tuan tak perlu meratap lagi, karena tak akan ada inspirasi
yang kandas bersama luak pekat. Ingatlah saja bahwa aku ini wanitamu sepanjang
tahun, dan tuan bisa merebahkan diri di atas sayapku kapan pun tuan mau. Aku
mencintai tuan, seperti tuan mencintai diksi. Sebab itu pula aku tidak akan
membiarkan diksi tuan berakhir di layar monitor." Lantas wanita itu
mendekap tuannya erat-erat, membelainya seperti semerbak mawar yang merona
kemerahan. Semanis cokelat yang meleleh di bawah selimut kemarau.
"Puanku
tak kenal diksi, tapi ia mengenal penulisnya lebih baik daripada luak pekat
mengenali cangkirnya." Lalu laki-laki itu berhenti menjadi pujangga
Januari. Ia melepaskan kacamata persepsinya dan mengganti dengan yang baru.
Laki-laki itu duduk kembali di depan layar monitornya, kali ini sebagai seorang
pujangga sepanjang tahun yang lahir di bulan November.
(Proud to be 10 Finalis STAN's Next Top Writer 2014)