Selasa, 07 Januari 2014

Pujangga Januari

Laki-laki ini tak pernah mengakui November sebagai bulan kelahirannya. Ia tak pernah mau meniup lilin-lilin ulang tahun yang di pasang kekasihnya di atas kue chiffon keju favoritnya. Ia bilang, ia adalah laki-laki Januari. "Kau tau, diksiku selalu mati kutu menunggu November berakhir, dan lamat-lamat lahir kembali di setiap penghujung bulan ke dua belas. Aku ini manusia Januari; tergelak dan kembali bercita di setiap permulaan yang baru."
Ia meneguk luak hitamnya pelan-pelan. Cangkirnya dingin, lama tak dicumbu pemiliknya yang sibuk menarikan jari di atas tombol backspace. Berkali-kali ia menelan ludah sebab tak ada satu pun frasa yang terpatri di lembaran kertas Word-nya. "Hei tuan, kami ini jengah kau pencet sana-sini. Terjaga sedari pagi hingga dini hari menemanimu berlari mengejar deadline. Mengertikah tuan, cuma November yang memberi kami istirahat. Tepat saat inspirasimu kandas bersama butiran hitam di dasar cangkir." Deretan tombol keyboard di depannya mulai berontak.
Manusia selalu begitu. Semangatnya menggebu-gebu di awal, memaparkan mimpinya yang berbinar seterik raja siang. Lalu perlahan jatuh bersama hujan, terseok-seok di tengah pegunungan, terpental-pental di tikungan jurang. Dan akhirnya terkepret-kepret sembari mengumpulkan serpihan semangat, mengais benang untuk merajut awal yang lain.
Tuan tampan menghela nafas di rebahan bulan November. Wanitanya menyapukan senyuman yang mendobrakkan getaran cinta. "Sudah lama kau tak memandangiku. Aku ingin memalingkan wajahmu dari tatap pada layar monitor, tapi aku takut mimpimu mati di tangan editor. Jadi aku diam saja. Aku menantikan kamu di Februari yang bergelora, tapi inspirasi membuat cokelat dan setangkai mawarmu tak jadi sampai padaku. Maka aku diam saja, menelan rinduku dalam-dalam. Tetapi tidak lagi untuk saat ini tuan. Aku sedang tak ingin bersua dengan diksimu. Aku butuh penulisnya. Hari ini aku datang dengan lilin-lilin ulang tahun, dan masih saja kau tak mau meniupnya?" Tuan tampan terperangah. Tak dikira bahwa wanita ini ternyata seperti laptopnya, bisa jengah juga.
"Maafkan aku puan. Tetapi puan adalah malaikat kematian. Dan aku selalu ingin rebah di atas sayapmu, terlebih-lebih seperti saat ini, saat inspirasiku kandas bersama luak hitam di kedalaman cangkir. Bagiku puan adalah wanita November, malaikat yang membuatku mampu hidup di tengah kematian diksi, dan nyawa untuk bertahan hingga melewati pergantian tahun. Puan adalah bibit inspirasi yang tumbuh subur di Januari, dan buah manis yang ku panen di sepanjang tahun sebelum November tiba lagi. Jadi, ambillah kue ini untuk puan, sebab di mataku puan adalah wanita November. Selamat ulang tahun puan, selamat menjadi diksi bagi pujangga Januari." kata laki-laki itu dengan sekotak cokelat dan setangkai mawar. Laki-laki ini tak lagi menjadikan Februari sebagai bulan yang penuh gelora, sebab gelar itu lebih pantas ia berikan kepada November, bulan kelahiran bagi wanitanya.
"Terimakasih tuan. Tapi sesungguhnya aku masih tak paham. Kenapa kau begitu menghidupi bulan Januari dan begitu takut ditikam November? Kenapa tak kau coba melepas kaca mata persepsimu dan menggantinya dengan yang baru? Kenapa tuan mesti menanti-nantikan penghujung Desember dan memuja-muja awal tahun? Kenapa tuan hanya membiarkan aku berdiri sebagai wanita November saja? Coba lihatlah aku, tuan. Aku mampu menjadi wanitamu sepanjang tahun, kalau saja tuan mau memalingkan wajah sebentar untuk menatapku, rasanya aku tak perlu mendapat julukan malaikat kematian. Tuan musti paham bahwa bibit yang ditanam dan dirawat sepanjang tahun akan membuahkan buah yang lebat, termasuk juga kala November tiba. Jadi tuan tak perlu meratap lagi, karena tak akan ada inspirasi yang kandas bersama luak pekat. Ingatlah saja bahwa aku ini wanitamu sepanjang tahun, dan tuan bisa merebahkan diri di atas sayapku kapan pun tuan mau. Aku mencintai tuan, seperti tuan mencintai diksi. Sebab itu pula aku tidak akan membiarkan diksi tuan berakhir di layar monitor." Lantas wanita itu mendekap tuannya erat-erat, membelainya seperti semerbak mawar yang merona kemerahan. Semanis cokelat yang meleleh di bawah selimut kemarau.
"Puanku tak kenal diksi, tapi ia mengenal penulisnya lebih baik daripada luak pekat mengenali cangkirnya." Lalu laki-laki itu berhenti menjadi pujangga Januari. Ia melepaskan kacamata persepsinya dan mengganti dengan yang baru. Laki-laki itu duduk kembali di depan layar monitornya, kali ini sebagai seorang pujangga sepanjang tahun yang lahir di bulan November.

(Proud to be 10 Finalis STAN's Next Top Writer 2014)