Rabu, 21 Agustus 2013

Dentang Debu

Berlarilah

Pasakkan tulangmu pada tanah,
pada siti molek berbalut gaun hijau

Dentangkan debu selantang gendhing jawi
ro lu ro lu mo lu ro ji 

Nyanyikan nafasmu semerdu derap matahari

Dadamu terbakar semangat Ilahi

Lepas bebaskan panas

Lari! Lari! Lari!

Jangan berhenti jika finish belum kau jamahi

Kibas lepas

Latih letihmu

Nyeri tak boleh jadi garis finish

Kalau yang kiri sakit,
Pinjam punya Brahmantyo

Putih yang tak kenal patah.

Kalau yang kanan yang sakit,
Pinjam punya Liem Dhany

Merah yang pantang pasrah.

Lari! Lari! Lari!

Kalau finish belum menjemput, jangan berhenti!

Teriakkan kakimu

Sembilan belas bersamamu

Jumat, 16 Agustus 2013

Proklamasi Diri

Selamat datang kembali!
Pastikan kamu datang bersama kemerdekaan di gandengan tanganmu.

Hari ini adalah hari yang baik.
Bersamaan dengan Dirgahayu 68 Republik Indonesia,
aku ingin memproklamasikan kemerdekaanku.

2013.
Mereka bilang angka 13 adalah angka sial.
Tapi aku, Theresia Grace Jayanti, hari ini dengan tegas akan menyangkalnya.
Tidak ada suatu kesialan yang datang dari sebuah angka.
Untung dan malangnya manusia datang dari manusia itu sendiri.
Tidak tidak. Bukan dari Tuhan, melainkan dari manusia.
Dari pikiran dan sugesti alam yang diciptakan oleh manusia.
Dari sempitnya ruang yang ia miliki untuk bersyukur.

Hari ini aku menyatakan diri bahwa AKU TELAH MERDEKA!

Dengan bangga, hari ini aku menulis,
dan membiarkan kalian semua membaca tulisan ini.
Sebuah keyakinan, harapan dan syukur:
AKU TELAH MENANG!
Aku memenangkan diriku atas kegagalan yang pernah aku alami.
Aku berhasil menggali nilai-nilai besar dari setahun perkuliahan di bangku rumah.

Aku berdoa dan Tuhan mendengarkan.
Sebuah bisikan berkata kepadaku dengan lantang,
"Memohonlah sesuatu yang pantas untuk kamu permohonkan. Memohonlah sesuatu yang dapat kamu pertanggung jawabkan."
Aku memohon, dan Tuhan mengabulkan.
Aku diterima di sebuah institusi perguruan tinggi.
dan sebentar lagi aku akan melangkahkan kakiku ke pintu gerbang masa depan itu.

Bagiku ini adalah sebuah hadiah yang luar biasa.
Rasa syukurku meluap-luap dan nyaris membludak.
Tuhan membayar setiap air mata dan busa mulut ketika aku berdoa.
Tunggu tunggu.
Yang barusan agak sedikit berlebihan.
Aku mau memberitahumu satu hal:
Jangan pernah ngoyo dalam berdoa dan memohon.
Jangan memaksa Tuhan.
Beri Dia kelonggaran,
Seperti Dia memberimu rongga untuk bernafas.
Seperti Dia memberi kepercayaan pada jantungmu untuk berdetak,
percayalah pada Nya.

Ini yang terjadi padaku.
Tuhan memberiku sekian banyak pilihan,
aku memilih tiga yang menurutku terbaik, dan menyerahkan ketiganya pada Tuhan.
Dari ketiga pilihan yang aku berikan pada Nya,
Tuhan memberi aku satu yang menurut Nya terbaik.

Tapi ini bukan satu-satunya hadiah yang aku terima atas penantianku,
atas kemenanganku, juga atas kemerdekaanku,
masih ada lagi.

Hadiah yang Tuhan berikan tepat disaat hatiku patah.
Menulis.
Sahabat terbaik yang mengajakku untuk terbuka.
Aku menelanjangi diriku lewat jari jemari yang menari di atas keyboard.
Dan aku berhasil.
Tulisanku dimuat di sebuah harian surat kabar.
Hadiah ini adalah sebuah motivasi besar yang mengingatkan aku
bahwa aku masih hidup, dan aku layak untuk menang.
Hari hariku kembali dipenuhi dengan naskah-naskah soal,
dan diwarnai dengan lukisan-lukisan frasa di layar laptop.
Semangatku berkobar dan kepercayaanku menyala-nyala.
Begitulah seterusnya sampai aku menang.

Mereka bilang, "Jatuh itu biasa, yang luar biasa adalah ketika kamu dapat berdiri lagi."
Mungkin mereka benar.
Bisa jadi.
Aku berdiri lagi, dan aku merasa luar biasa.
Ya. Aku telah menang.
Aku tidak tenggelam dalam keterpurukanku.
Meski perutku harus keram, meski lututku kedinginan, aku terus berenang.
Dan kamu bisa lihat sekarang, AKU MENANG!

Kemenangan yang aku lontarkan ini bukan semata-mata mengenai hal penerimaan oleh institusi-institusi tertentu,
melainkan kemenangan atas penerimaan oleh diriku sendiri.

Soekarno pernah berkata, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."
Menurutku Soekarno itu benar, tapi bagiku perjuangan yang tersulit adalah perjuangan melawan diri sendiri.
Melawan egoisme diri, melawan kemalasan, melawan rasa takut, melawan kepedihan, melawan kegagalan dan melawan musuh-musuh ganas lainnya.

Jadi sekali lagi, aku lantangkan:
AKU TELAH MENANG!
AKU MERDEKA!
dan aku bangga bisa menceritakannya disini dengan rasa syukur dan kerendahan hati.

Rabu, 07 Agustus 2013

Sopir. Biar Ku Tebak

Biar ku tebak.
Saat ini mungkin kamu sedang menikmati aktivitasmu.
Rutinitas tahunan yang mungkin sangat kamu nantikan.
Ya. Bisa jadi!

Mungkin kamu sedang menghabiskan waktumu sebagai seorang sopir.
Setidaknya kamu selalu menyebut dirimu demikian, kan?

Menghantarkan rahimmu pergi berbelanja.
Membiarkan wanita-wanita yang kamu cintai memilih barang,
sementara kamu berdiri di depan AC supermarket.
Selalu di situ.
Kamu tak mau beranjak.
Jadi kalau sewaktu-waktu mereka datang, mereka akan dengan mudah menemukanmu.
Berdiri di satu titik, kamu bilang kamu bosan.
Tapi aku yakin, sebenarnya tidak.
Sebab aku tau.
Jauh di dalam hatimu, kamu sangat rindu berdiri di situ.
Bukan karena dinginnya suhu yang membekukan kakimu,
tapi karena hangatnya kebersamaan yang selalu kamu nantikan.
Betul begitu bukan?
Ehem. Ini tebakanku. Tapi bisa jadi, benar.
Bisa jadi memang begitu.

Setidak tidaknya jika tebakanku yang ini salah,
aku masih bisa menebak hal yang lain.

Setidak tidaknya, kalau aku jadi sopir sepertimu, aku pasti bahagia.
Sebab, aku adalah sopir yang bisa menikmati perburuan barang mereka.
Wanita-wanita cantik itu pasti dengan rela hati membiarkanmu menikmati hasil belanja mereka, kan?
Bukan. Bukan lipstik, dress, heels, dan semacamnya.
Tapi kamu pasti tau maksudku kan..
Kulkas.
Aku tidak tau kenapa, tapi rasa rasanya kamu tidak pernah jauh-jauh dari alat pendingin.
Mungkin supaya banyak orang terus memanggilmu "Mister Cool?"
Mungkin. Mungkin.
Setidaknya yang ku tau, kamu tidak mencari dinginnya.
Kamu menantikan kehangatan.
Bercengkerama dengan orang-orang kesayanganmu.
Memindahkan isi kulkas ke dalam perutmu.
Lalu nanti, ketika waktumu disana hampir berakhir,
kamu akan melakukan dua hal:
Satu, kamu akan bersikap sedikit melankolis.
Dua, kamu akan membanggakan perutmu yang melebar ke segala penjuru.
Dan mungkin juga, secara tidak sengaja, kamu akan mengkombinasikan keduanya hanya dalam sebuah pesan singkat.

Jadi bagaimana?
Apa tebakanku masih salah?
Biar ku tebak hal yang lain lagi.

Di atas roda empat yang melaju,
dengan benda melingkar di genggaman tanganmu,
wanita cantik di sampingmu akan berubah menjadi seorang sekretaris.
Kurang hebat apa kamu?
Seorang sopir, yang memiliki sekretaris pribadi.
Wanita itu akan mengambil ponselmu,
menceritakan bagaimana kamu lelah mengemudi,
atau mungkin, dia akan memuji dirinya sendiri.
Ya, mungkin.
Tapi, kalau tebakanku ini benar
Aku tak bisa menebak satu hal:
siapa yang menerima pesan singkatnya?

Sebaiknya, aku melanjutkan tebakanku saja.
Roda empatmu pasti mengarungi sircuit yang penuh liku, lubang, dan batu.
Berkilo-kilometer yang kamu tempuh itu sangat sempit, bukan?
Tapi aku yakin kamu memimpinnya dengan baik,
Mungkin kamu sangat lelah, setidaknya begitu yang pernah ku dengar, dulu.
Tapi aku tau, kalau saat ini kamu benar sedang melakukannya, hatimu pasti hangat.
Sebab aku tau, kamu selalu menikmatinya.
Sebuah kebersamaan bersama lengkungan-lengkungan senyum yang selalu kamu rindukan.

Sekarang kembali kepada kenyataan,
itu semua cuma tebakanku saja.
Tebakan.
Bisa jadi benar, bisa jadi salah.
Tapi ya mana ku tau, sekarang ini aku mampunya cuma menebak.
Menepati janjiku, menulis tentang kamu.

Kalau semua tebakanku tadi salah,
setidak-tidaknya aku ingin kamu menikmati waktu-waktu ini,
waktu-waktu yang kamu nantikan.
Menikmati kebersamaanmu bersama mereka,
orang-orang yang dengan setia selalu kamu rindukan.
Keluarga yang hangat.