Minggu, 23 Februari 2014

Jangan dibaca!

Untuk kamu,
seseorang yang kurasa tak pernah lagi membaca halaman ini.

Saat aku menulis surat ini, jangan kau bayangkan aku sedang menangis. Tidak sama sekali. Saat aku menulis ini, aku duduk dengan baju merah yang pernah kita kenakan bersama di dalam bangku bis yang bergerak perlahan menjauhi ranum matahari tenggelam. Pertama-tama, biar ku beri tahu bahwa aku tak lagi serapuh gadis sebelas bulan yang lalu. Saat ini aku dan corak-corak merah jambu di dalam sana sudah memahami betul perihal-perihal yang membuatku terluka. Ada banyak alasan ketika seseorang memutuskan untuk meninggalkan komitmen yang telah ia canangkan. Dan tentang langkahmu itu, aku sudah berhasil mencoba menerimanya. Kamu tidak perlu meminta maaf, sebab aku pun tidak perlu memaafkan apa-apa. Segala sesuatunya telah berjalan seumpama desiran ombak di Pantai Pangandaran. Gelombang air yang menerjang pasir laut dan perlahan menarik segala beban dari penampangan telapak kakiku. Lamat-lamat aku membiarkan diriku menjadi siluet di senja temaram yang boleh kau pandangi sejenak ketika kau menenolehkan wajahmu ke belakang.Aku tak lagi berani mencoba datang, sebab gadis itu telah membuat kenyataan benar-benar menampar pipi kananku; bahwa karma itu ada. Sungguh ku pikir tak ada eloknya bagiku untuk menyaksikan buliran air mata dari pelupuk nona yang kekasihnya direnggut keegoisan - luka  yang sama seperti yang sedang aku kenakan saat ini. Sudahlah, karma itu ada. Ia tak pernah tersesat, ia selalu mendatangi orang-orang yang tepat untuk diberi pelajaran. Jadi biar saja demikian, biar saja pipi kiriku ini ikut memerah. Meski aku tak mau menjadi gadis bodoh yang menunggumu sambil bertopang dagu, aku masih rela hati menyatakan diri sebagai seorang wanita yang menyempatkan diri beberapa detik untuk mengintip tirai imaji yang mulai usang berlalu. Bukan apa-apa. Aku hanya sedang belajar, bahwa segala sesuatu yang terjadi di masa nanti adalah perihal yang tak pernah kita tau. Hidup ini seperti sebuah seni yang tak mampu kau pahami dengan logika aritmatika. Seperti einstein yang mendapati buah apel jatuh menimpa kepalanya, seperti itu pula nantinya kita akan mengerti pada gravitasi mana cinta kita akan dirumuskan.

Selamat berbahagia, yasallam.

Rabu, 05 Februari 2014

Enggan

Setiap sakit selalu menuntut waktu rehat untuk penyembuhan, bukan?
Nona sedang enggan untuk dicinta. Baginya dikecewakan lembaran balance sheet lebih membahagiakan dibanding tamparan cinta yang tak berimbang.

Setiap romansa punya titik jenuhnya, demikian pula dengannya. Ia bosan melihat plester warna-warni yang sekian lama tertempel menutupi lukanya. Kadang terbuka - terkoyak - lalu diganti dengan yang baru - terlepas lagi - dan seterusnya. Terihat meletihkan (mungkin juga pedih).


Lalu...


Ding Dong!
Ding Dongg!


Bel rumah yang tak pernah ia benci itu mulai bersuara.

Nona memang senang membukakan pintu bagi setiap tamu yang datang bertandang. Tetapi Nona tak pernah ringan hati mengambil gagang sapu atau sekadar menebas sofa yang berdebu. Nona sedang enggan. Sangat. Ia tak tertarik untuk membersihkan sisa puntung rokok yang dijatuhkan dari bibir pemiliknya yang sempat manis. Memang benar Nona senang berbincang dengan mereka, tapi Nona tak suka bila mereka singgah terlalu lama. Nona tak ingin halaman rumahnya digali dan ditanami oleh harapan-harapan mereka yang ia sadari tak kan pernah dapat ia buahkan. Nona sedang lelah untuk bercocok cinta. Ia tak punya cukup air mata untuk menyirami rasa.

Bukan. Nona tidak takut jatuh, ia hanya sedang enggan.