Minggu, 06 Oktober 2013

Karta, Kata dan Kita

Karta. Jogja sudah jadi Jaya. Tugu yang menjamah langit sudah dilukir dengan Monas. Dengan sedikit air mata di pelupuk jendela bis Trans yang memimikri dirinya dari hijau menjadi orange, aku terjaga di sini. Di sebuah petak dengan enam buah pundi-pundi yang siap aku tata sebagai sebuah pondasi baru untuk mulai menjajaki tangga-tangga asa. Putih dan hitam yang melekat, tak kan ku lebur menjadi abu. Tidak. Aku sudah melangkah dengan vantofel hitam yang dibeli untuk jarang dipakai, dan aku tidak akan berbalik. Tidak.

Menurutmu untuk apa aku harus menengok ke belakang; sementara aku tau bahwa kamu-kamu semua setia berjalan bersama di kedua sisiku, dan tangan kita masih sama-sama memainkan tembang-tembang klasik yang mengharmoni.

Aku, kamu dan kita harus sama-sama tau, bahwa aku, kamu dan kita harus pergi dengan langkah yang berbeda untuk menuju ke satu arah yang sama. Untuk sebuah mimpi besar yang diagung-agungkan oleh para pewaris peradaban.

Sekalipun jingga yang kita lihat bukan lagi jingga yang sama yang menyapa saat kita berjalan bersama menuju gereja. Sekalipun senja yang kita lihat bukan lagi senja yang sama yang melukiskan silouet pepohonan pinus dari lapangan basket. Sekalipun kini pagiku telah menjadi malammu, dan sekalipun lelapku kamu sebut terjaga; matahari kita masih sama. Masih matahari yang menantang kita untuk mengobarkan api Van Lith dimana pun kita ditebar.

Fotosintesa mengayuh kita bertumbuh dewasa. Kita tidak lagi melingkar dengan lengan-lengan yang merapat, dengan kaki-kaki yang saling bersentuhan. Kini kita bergandengan melingkar dengan lengan-lengan yang terbuka yang merengkuh ribuan orang lainnya untuk saling memberikan pundak mereka dan kaki-kaki kita mengalunkan langkah yang lebih lebar untuk dapat menjamahi dunia yang perlu digugah dari mimpi.

Hujan, angin, dan awan yang berarak di atas kita boleh berbeda, tapi sekali lagi: Matahari kita akan terus sama.

0 komentar: