Minggu, 28 Oktober 2012

Arsitek Kehidupan

Ada saat dimana kamu akan mengerti,
betapa buku-buku ilmu yang dulu kamu simpan itu tiba-tiba bisa menjadi sangat berarti dan tak ternilai harganya..

Pada saat itu, kamu akan tahu bahwa waktumu sangat berharga,
melebihi uang dan harta manapun yang kamu punya..

dan sekalipun kamu tidak bisa berbicara pada waktu,
sesungguhnya kamu punya banyak kesempatan untuk mendengarkan waktu berbicara..

Perputaran jarum jamnya akan membawamu teraduk-aduk dalam berbagai pilihan kehidupan,
tapi haruslah kau ingat,
bahwa untuk setiap pilihanmu, akan dimenangkan oleh rencana Nya..


Hari-hari dan kepenatan yang kualami sekarang, membawa ingatanku ke sebuah kota yang terkenal dengan ongis nade nya.. Sebuah daerah, dimana orang-orangnya suka membaca dari belakang, huruf-huruf dari kata yang mereka pergunakan..

Dua ribu sebelas
Saat itu aku sedang menjalani hari-hari pertamaku di kota Malang, Jawa Timur. Aku ingat sekali saat itu aku masih antusias dengan dunia arsitektur. Dan dengan kegiatan OPP SMA PL Van Lith, tempatku bersekolah, akhirnya aku dihantarkan ke sebuah kantor kontraktor.

Yang ingin aku ceritakan disini, bukan tentang hari-hari ku mengenal arsitektur bersama om insinyur. Ada hal lain yang malah membekas dalam benakku.

Saat itu, adalah pagi yang cerah di rumah Om Agus, seorang dosen Elektro di Politeknik Negeri Malang. Pagi itu, seperti biasanya, beberapa gelas teh hangat telah di siapkan untuk kami (aku, ketiga temanku, dan keluarga itu).

Aku dan temanku Dhoni duduk di teras belakang bersama dengan Om Agus, dan obrolan ringan kami mulai mengalir.

"Grace, dulu Om juga pengennya jadi arsitek lhoo." katanya "Tapi waktu nyoba ke UGM, Om ngga lolos. Waktu itu UGM masih tergolong 'terjangkau'."

"Terus ngga nyoba ke perguruan tinggi swasta, om?" tanyaku

"Waktu itu zaman Atma Jaya baru dibangun, masih mahal sekali harganya. Kebetulan ekonomi keluarga tergolong sederhana." Jawabnya.

Begitu obrolan singkat ku dengan Om Agus tentang, mimpi masa mudanya sebagai arsitek.



Hari-hari masa OPP ku hampir berakhir. Di hari terakhir itu, kami semua dikumpulkan di sebuah tempat yang aku juga lupa tepatnya dimana.

Di sana kemudian Om Agus berbicara di salah satu sessi.. Beliau menceritakan bagaimana suka dukanya untuk dapat mencapai kehidupan 'mapan' nya sekarang.

Bagaimana beliau akhirnya memilih untuk berpindah haluan dari minat di teknik arsitektur ke teknik elektro.

"Setelah lulus dari IKIP, saya menjadi dosen di Politeknik Negeri Malang, yang saat itu bernama IKIP Malang." Lanjutnya.



"Pada dasarnya saya ingin sesuatu yang 'seimbang' antara otak kiri dan otak kanan. Saya suka seni, dan saya suka sesuatu yang berhubungan dengan teknik. Jadi, akhirnya saya mengambil teknik elektro."

Segala suka duka yang dialami Om Agus juga diceritakan, termasuk bagaimana beliau bekerja keras agar dapat membelikan sekaleng susu untuk anak pertamanya (saat itu)

Peluang kesuksesan berikutnya muncul pada saat beliau menjadi dosen. Salah satu anak didiknya mempunyai sebuah ide untuk menciptakan 'mesin wartel', sayangnya gagal. Jadi akhirnya Om Agus dan rekannya melanjutkan pekerjaan itu hingga akhirnya menjadi suatu karya yang sangat berguna dan bernilai jual.

Setelah selesai menceritakan pengalamannya, Om Agus dan beberapa orang yang lain menatap ke arahku, seolah-olah ingin memberikan kesempatan bagiku untuk berkomentar. Sebab memang saat itu, akulah satu-satunya peserta OPP dengan profesi arsitek.

dan mengalirlah kata-kata berikut dari mulutku ..

"Mungkin Om Agus pada akhirnya ngga menjadi seorang arsitek seperti yang Om Agus cita-citakan, tapi setidaknya Om Agus telah berhasil menjadi seorang arsitek kehidupan bagi Om Agus sendiri, dan itu adalah hal yang sangat luar biasa."

Aku tidak mengerti bagaimana aku bisa mengatakan kalimat itu,

Aku juga tidak tau bagaimana pada akhirnya kata-kata itu seolah ingin berbicara lagi padaku :

"Adakah kamu mampu menjadi seorang arsitek kehidupan?"

Sekian, Salam hangat :)

0 komentar: